Halaman

Auror Indra Lesmana dan Anita Rachmawati Salawasna

Selasa, Juli 21, 2009

Kata Mutiara Dari Kang Dicky

"Cinta sering diucapkan dengan kata-kata, Cinta sering dilakukan tanpa perbuatan, Cinta sering disebut tapi tidak dikenal, Cinta tidak mengenal cemburu, Cinta tidak mengenal pamrih..."
Kang Dicky Zainal Arifin

Peringatan Imam al-Ghazali"

Kita sering jumpa masyarakat yang bangga "awam" dalam ilmu agama. Mereka bukan bodoh, tapi tak paham ilmu fardhu 'ain, dan ilmu yang fardhu kifayah. Baca Catatan Akhir Pekan ke-103 Adian Husaini, MA

Tanggal 4 Juni 2005, saya datang ke IAIN Bandung, memenuhi undangan seminar tentang sekularisme, liberalisme, dan pluralisme agama. Kampus IAIN Bandung sedang direncanakan untuk menjadi Universitas Islam Negeri (UIN), seperti halnya UIN Jakarta dan UIN Yogyakarta. Dalam berbagai diskusi saya dengan mahasiswa dan dosen di berbagai UIN dan IAIN, saya mempunyai kesimpulan, bahwa salah satu masalah mendasar yang dialami oleh kalangan akademisi dan perguruan tinggi Islam saat ini adalah masalah visi, misi, dan niat. Masalah visi dan misi terkait dengan pemahaman tentang konsep ilmu.


Apa sebenarnya yang dimaksud dengan ilmu? Ilmu-ilmu apakah yang harus dipelajari, dan untuk apa mempelajari ilmu-ilmu tersebut.

Pendidikan, pada dasarnya berkaitan dengan masalah ilmu. Apalagi masalah pendidikan agama, yang berkaitan dengan ilmu-ilmu agama (ulumuddin). Sudah bukan rahasia lagi, kekacauan konsep ilmu telah menyebabkan munculnya dampak yang sangat serius di kalangan kaum Muslim saat
ini.

Pada level perguruan tinggi, konsep keilmuan terpecah secara mendasar; ilmu agama dan ilmu umum. Perguruan Tinggi dibentuk berdasarkan konsep yang sekular itu, sehingga lahirlah universitas/Institut Umum dan Universitas/Insititut Islam. Konsep dasar ini jelas sangat keliru, karena tidak berdasarkan pada konsep keilmuan Islam. Dari konsep yang salah ini, lahirlah
para cendekiawan yang terbelah, baik dalam cara berpikir, maupun dalam penguasaan keilmuan.


Mahasiswa yang belajar teknik, kedokteran, ekonomi, komputer, geologi, dan sebagainya, tidak merasa wajib untuk mempelajari ilmu-ilmu agama. Ia hanya merasa cukup sudah “beramal” dan “bersemangat” memperjuangkan Islam melalui aktivitas politik, sosial, ekonomi, dan sebagainya. Ia tidak merasa wajib untuk mempalajari ilmu-ilmu Islam, seperti Ushuluddin, bahasa Arab, Ulumul Qur’an, Ulumul hadits, ilmu fiqih, dan sebagainya.

Menurut perasaan mereka, mempelajari ilmu-ilmu agama seperti itu adalah tanggung jawab orang-orang pesantren, IAIN, dan semacamnya. Meskipun secara umum bisa dikatakan, rata-rata mahasiswa kedokteran, teknik, komputer, dan sebagainya, adalah manusia berotak cerdas, mereka tidak merasa wajib menggunakan akalnya untuk mempelajari dengan sungguh-sungguh bahasa Arab atau ulumuddin lainnya.

Mereka biasanya hanya suka mendengar ustad ceramah, seminggu sekali, atau sebulan sekali, atau melalui media radio/telivisi, dengan tradisi “jiping” (ngaji kuping).

Belajar agama dianggap sambilan, atau hanya sekedar mengisi waktu, dengan tenaga dan pikiran sisa. Mereka sanggup belajar bahasa Inggris, membayar mahal, dan bersungguh-sungguh mencurahkan pikirannya, untuk menguasai bahasa itu. Tetapi, ketika berhadapan dengan bahasa Arab, mereka merasa tidak berkepentingan sama sekali.

Padahal, Imam Syafii menjelaskan dalam Kitab Risalah, bahwa mempalajari bahasa Arab adalah fardhu 'ain, dan setiap orang Muslim wajib menguasai bahasa Arab, semaksimal mungkin, sesuai dengan kemampuannya. Artinya, adalah berdosa, jika seseorang tidak bersungguh-sungguh belajar bahasa Arab. Padahal, jika orang-orang cerdas mau bersungguh-sungguh menggunakan akalnya untuk menguasai bahasa Arab, mereka insyaallah bisa menguasainya, sebagaimana mereka mampu memguasai bahasa-bahasa asing lainnya.


Biasanya, para profesional atau kaum cendekiawan berlatarbelakang “ilmu-ilmu umum”, senang dan bangga memelihara statusnya sebagai “orang awam” dalam agama. Meskipun sudah lulus kuliah berpuluh-puluh tahun, dan menjadi orang muslim sejak lahir, mereka senang mengucapkan, “saya ini awam dalam agama.” Jadilah ia awam seumur hidupnya dalam bidang-bidang ilmu agama, tetapi sangat pakar dalam ilmu-ilmu tertentu di bidang profesinya.


Fenomena semacam ini sangat lazim kita jumpai. Mereka menjadi awam dalam ilmu-ilmu agama bukan karena otaknya bodoh, atau tidak punya waktu untuk belajar, tetapi lebih karena mereka tidak memahami konsepsi ilmu dalam Islam. Mereka tidak paham, mana ilmu yang fardhu 'ain, dan mana ilmu yang fardhu kifayah.


Padahal, konsep ini telah dijelaskan dengan gamblang oleh Imam al-Ghazali melalui kitabnya yang terkenal “Ihya’ Ulumuddin”.


Ilmu-ilmu yang berkaitan dengan masalah aqidah dan ibadah wajib, misalnya, termasuk ilmu yang fardhu ‘ain. Secara ringkas, ilmu yang fardhu ‘ain adalah ilmu yang diperlukan untuk mengamalkan kewajiban. Untuk orang-orang yang dikarunai akal yang cerdas, maka beban dan kewajiban untuk mengkaji keilmuan itu tentu lebih berat. Mereka seharusnya lebih mendalami ilmu-ilmu yang fardhu ‘ain, lebih daripada orang lain yang kurang kadar kecerdasan akalnya.

Bagi kaum cendekiawan atau ulama, maka tanggung jawab mereka juga lebih berat. Disamping wajib mengetahui yang benar, mereka juga harus mengetahui ilmu tentang hal-hal yang bathil yang tersebar di tengah masyarakat. Sebab, kata al-Ghazali, orang yang tidak mengetahui kebathilan, ia akan terperosok di dalamnya.

Ibarat seorang dokter, maka ulama wajib mengetahui ilmu tentang pengobatan dan sekaligus ilmu tentang penyakitnya.


Maka, di masa lalu, para ulama Islam, disamping menguasai ilmu-ilmu keislaman dengan mendalam, mereka juga menguasai ilmu-ilmu tentang pemikiran kontemporer ketika itu. Dengan itulah para ulama bisa menjalankan fungsinya sebagai pewaris para nabi, dengan menjaga aqidah umat.

Para ulama saat ini, misalnya, wajib memahami dengan mendalam masalah sekularisme, liberalisme, pluralisme, marxisme, dan sebagainya. Paham-paham inilah yang sekarang menguasai dunia dan mencengkeram benak kaum muslimin.

Jika para ulama tidak menguasai masalah-masalah pemikiran kontemporer, maka mereka akan menjadi “penonton yang baik” di satu arena “pertarungan pemikiran” yang dahsyat.

Mencari ilmu, sebagaimana disabdakan oleh Rasulullah saw, adalah wajib bagi setiap Muslim. Artinya, setiap hari, kaum Muslim seharusnya sibuk dalam aktivitas keilmuan. Tidak ada hari tanpa mengaji dan menambah ilmu, terutama ilmu-ilmu yang fardhu 'ain, maupun ilmu yang fardhu kifayah.

Imam al-Ghazali mencontohkan, ilmu fardhu kifayah seperti ilmu kedokteran dan ilmu berhitung. Ilmu jenis ini diperkukan untuk tegaknya sistem masyarakat. Fardhu kifayah artinya, jika sebagian kaum Muslimin sudah menguasai ilmu itu, dalam jumlah yang mencukupi kebutuhan masyarakat (kifayah), maka gugurlah kewajiban itu dari sebagian kaum muslimin lainnya.

Tidak perlu semua anggota masyarakat menjadi dokter, dan tidak perlu semuanya pakar dalam
matematika, teknik elektro, teknik komputer, teknik pesawat, dan sebagainya. Cukup sebagian kaum Muslimin yang menguasai bidang ilmu fardhu kifayah.

Selain kesalahan dalam memahami konsepsi ilmu, masalah mendasar lainnya dalam masalah ilmu dan pendidikan adalah soal niat mencari ilmu. Imam al-Ghazali sudah mengingatkan dengan bahasa yang lugas dalam mukaddimah kitab “Bidayatul Hidayah”.

Kata beliau, jika seseorang mencari ilmu dengan maksud untuk sekedar hebat-hebatan, mencari pujian, atau untuk mengumpulkan harta benda, maka dia telah berjalan untuk menghancurkan agamanya, merusak dirinya sendiri, dan telah menjual akhirat dengan dunia. (Fa-anta saa’in ilaa hadmi diinika wa ihlaaki nafsika, wa bay’i aakhiratika bi dunyaaka).


Bagi Imam al-Ghazali, ilmu adalah sesuatu yang sangat mulia, dan sebab itu terlalu murah jika ilmu ditujukan untuk hal-hal yang sifatnya duniawi. Ilmu haruslah ditujukan untuk ibadah dan mencari hidayah Allah.

Siapapun yang mencari ilmu dengan niat yang mulia seperti itu, kata beliau, maka para Malaikat akan melindungi pencari ilmu itu dengan membentangkan sayapnya; dan ikan-ikan di laut mendoakan si pencari ilmu yang ikhlas dalam langkahnya.


Jika saat ini kita mengalami krisis ulama, dan pesantren serta kampus-kampus Islam tidak melahirkan ulama-ulama yang tangguh, maka kita perlu melakukan introspeksi ke dalam, apakah konsepsi ilmu dan niat dalam mencari ilmu sudah benar?

Banyak jurusan dalam ilmu-ilmu agama dibentuk, dengan tujuan untuk mencari lapangan kerja. Mereka yang lulus, banyak yang kemudian tidak tertarik untuk mengembangkan ilmunya lebih jauh, atau mengamalkan ilmunya untuk berdakwah, tetapi justru meniatkan ilmunya untuk mencari harta benda dunia, sebagaimana sudah diperingatkan oleh al-Ghazali.

Yang lebih memprihatinkan, ada kampus-kampus yang sama sekali mengabaikan masalah
ilmu, dan mendirikan lembaga pendidikan sekedar jual beli gelar. Dari kampus-kampus semacam ini akan lahir orang-orang yang menyandang gelar tertentu tanpa keilmuan yang memadai.

Peringatan Imam al-Ghazali ini sangat penting kita renungkan. Beliau menulis Kitab Ihya’ Ulumuddin dan Bidayatul Hidayah antara tahun 1096-1097, di saat awal-awal periode Perang Salib.

Saat itulah kaum Muslimin mengalami krisis politik dan militer yang sangat serius, sehingga pasukan Salib (Crusaders) yang lebih rendah tingkat peradabannya mampu mengalahkan kaum Muslimin.

Dengan penguasaan ilmu yang tinggi dan pencermatannya langsung ke beberapa wilayah kaum Muslimin, Al-Ghazali melihat pada problema yang paling mendasar yang harus dipecahkan umat Islam saat itu, yaitu masalah keilmuan dan keulamaan.


Seperti kita bahas pada Catatan Akhir Pekan (CAP) yang lalu, tugas ulama adalah sebagai pewaris para Nabi. Mereka yang harus menjaga ilmu-ilmu agama agar tetap hidup dan menjadi bagian dari kehidupan masyarakat Islam.

Jika konsepsi Islam tentang ilmu dipahami dan dihayati oleh kaum Muslimin, terutama para tokoh-tokohnya, maka tidak mungkin kita mengalami krisis seperti sekarang ini.


Umat akan paham, mana yang wajib dilakukan terlebih dahulu dan mana yang menjadi prioritas kemudian. Tidak mungkin kita mengalami krisis pembelajaran dirosah islamiyah, dimana jurusan-jurusan agama (Fakultas Agama Islam) adalah jurusan terakhir yang dipilih mahasiswa muslim.

Kemarin, saya berkunjung ke satu kampus di Jakarta. Ada data yang dianggap biasa: di kampus ini, jumlah mahasiswa jurusan komunikasi mencapai 400 orang, sementara mahasiswa jurusan agama hanya 15 orang. Itu pun adalah mereka-mereka yang diberi insentif untuk kuliah di situ.


Biasanya, karena merupakan pilihan terakhir, maka yang masuk ke studi agama pun, kualitas mahasiswa yang kemampuan akalnya “pas-pasan”. Masalahnya lebih rumit lagi, setelah masuknya virus liberalisme-sekularisme ke dalam sistem pendidikan Islam.

Virus ini otomatis melemahkan sendi-sendi pertahanan kaum Muslim, dan memunculkan masalah yang sangat pelik. Dari konsepsi yang keliru lahirlah sarjana yang keliru cara berpikirnya. Jika dulu paham ateisme disebarkan oleh kalangan Marxis-komunis, maka kini tidak sedikit sarjana dari kalangan studi Islam yang dengan bangga menyebarkan ateisme atau Marxisme, baik dalam bentuknya yang asli atau metamorfosisnya, seperti paham pluralisme agama atau “gender equality”.

Mudah-mudahan peringatan Imam al-Ghazali dapat menjadi bahan renungan kita bersama, dalam upaya membangun peradaban Islam yang gemilang di masa mendatang.

Rasul tidak mengajarkan tenaga dalam, sebagaimana Rasul juga tidak mengajarkan pergi haji menggunakan pesawat, mengalengkan daging kurban menjadi korn

Pada tahun 1982 terjadi suatu peristiwa yang menarik. Di
Universitas Paris, sebuah tim peneliti dipimpin oleh Alain Aspect
melakukan suatu eksperimen yang mungkin merupakan eksperimen yang
paling penting di abad ke-20. Anda tidak mendapatkannya dalam
berita malam. Malah, kecuali Anda biasa membaca jurnal-jurnal
ilmiah, Anda mungkin tidak pernah mendengar nama Aspect,
sekalipun sementara orang merasa temuannya itu mungkin akan
mengubah wajah sains.

Aspect bersama timnya menemukan bahwa dalam lingkungan tertentu
partikel-partikel subatomik, seperti elektron, mampu
berkomunikasi dengan seketika satu sama lain tanpa tergantung
pada jarak yang memisahkan mereka. Tidak ada bedanya apakah
mereka terpisah 10 kaki atau 10 milyar km satu sama lain.

Entah bagaimana, tampaknya setiap partikel selalu tahu apa yang
dilakukan oleh partikel lain. Masalah yang ditampilkan oleh
temuan ini adalah bahwa hal itu melanggar prinsip Einstein yang
telah lama dipegang, yakni bahwa tidak ada komunikasi yang mampu
berjalan lebih cepat daripada kecepatan cahaya. Oleh karena
berjalan melebihi kecepatan cahaya berarti menembus dinding
waktu, maka prospek yang menakutkan ini menyebabkan sementara
ilmuwan fisika mencoba menyusun teori yang dapat menjelaskan
temuan Aspect. Namun hal itu juga mengilhami sementara ilmuwan
lain untuk menyusun teori yang lebih radikal lagi.

Pakar fisika teoretik dari Universitas London, David Bohm,
misalnya, yakin bahwa temuan Aspect menyiratkan bahwa realitas
obyektif itu tidak ada; bahwa sekalipun tampaknya pejal [solid],
alam semesta ini pada dasarnya merupakan khayalan, suatu hologram
raksasa yang terperinci secara sempurna.

Untuk memahami mengapa Bohm sampai membuat pernyataan yang
mengejutkan ini, pertama-tama kita harus memahami sedikit tentang
hologram. Sebuah hologram adalah suatu potret tiga dimensional
yang dibuat dengan sinar laser. Untuk membuat hologram, obyek
yang akan difoto mula-mula disinari dengan suatu sinar laser.
Lalu sinar laser kedua yang dipantulkan dari sinar pertama
ditujukan pula kepada obyek tersebut, dan pola interferensi yang
terjadi (bidang tempat kedua sinar laser itu bercampur) direkam
dalam sebuah pelat foto.

Ketika pelat itu dicuci, gambar terlihat sebagai pusaran-pusaran
garis-garis terang dan gelap. Tetapi ketika foto itu disoroti
oleh sebuah sinar laser lagi, muncullah gambar tiga dimensional
dari obyek semula di situ.

Sifat tiga dimensi dari gambar seperti itu bukan satu-satunya
sifat yang menarik dari hologram. Jika hologram sebuah bunga
mawar dibelah dua dan disoroti oleh sebuah sinar laser, masing-
masing belahan itu ternyata masih mengandung gambar mawar itu
secara lengkap (tetapi lebih kecil).

Bahkan, jika belahan itu dibelah lagi, masing-masing potongan
foto itu ternyata selalu mengandung gambar semula yang lengkap
sekalipun lebih kecil. Berbeda dengan foto yang biasa, setiap
bagian sebuah hologram mengandung semua informasi yang ada pada
hologram secara keseluruhan.

Sifat "keseluruhan di dalam setiap bagian" dari sebuah hologram,
memberikan kepada kita suatu cara pemahaman yang sama sekali baru
terhadap organisasi dan order. Selama sebagian besar sejarahnya,
sains Barat bekerja di bawah prinsip yang bias, yakni bahwa cara
terbaik untuk memahami fenomena fisikal --baik seekor katak atau
sebuah atom-- adalah dengan memotong-motongnya dan meneliti
bagian-bagiannya.

Sebuah hologram mengajarkan bahwa beberapa hal dari alam semesta
ini mungkin tidak akan terungkap dengan pendekatan itu. Jika kita
mencoba menguraikan sesuatu yang tersusun secara holografik, kita
tidak akan mendapatkan bagian-bagian yang membentuknya, melainkan
kita akan mendapatkan keutuhan yang lebih kecil.

Pencerahan ini menuntun Bohm untuk memahami secara lain temuan
Aspect. Bohm yakin bahwa alasan mengapa partikel-partikel
subatomik mampu berhubungan satu sama lain tanpa terpengaruh oleh
jarak yang memisahkan mereka adalah bukan karena mereka
mengirimkan isyarat misterius bolak-balik di antara satu sama
lain, melainkan oleh karena keterpisahan mereka adalah ilusi.
Bohm berkilah, bahwa pada suatu tingkat realitas yang lebih
dalam, partikel-partikel seperti itu bukanlah entitas-entitas
individual, melainkan merupakan perpanjangan [extension] dari
sesuatu yang esa dan fundamental.

Agar khalayak lebih mudah membayangkan apa yang dimaksudkannya,
Bohm memberikan ilustrasi berikut:

Bayangkan sebuah akuarium yang mengandung seekor ikan. Bayangkan
juga bahwa Anda tidak dapat melihat akuarium itu secara langsung,
dan bahwa pengetahuan Anda tentang akuarium itu beserta apa yang
terkandung di dalamnya datang dari dua kamera televisi: yang
sebuah ditujukan ke sisi depan akuarium, dan yang lain ditujukan
ke sisinya.

Ketika Anda menatap kedua layar televisi, Anda mungkin menganggap
bahwa ikan yang ada pada masing-masing layar itu adalah dua ikan
yang berbeda. Bagaimana pun juga, karena kedua kamera diarahkan
dengan sudut yang berbeda, masing-masing gambar ikan itu sedikit
berbeda satu sama lain. Tetapi sementara Anda terus memandang
kedua ikan itu, akhirnya Anda akan menyadari bahwa ada hubungan
tertentu di antara kedua ikan itu.

Kalau yang satu berbelok, yang lain juga membuat gerakan yang
berbeda tapi sesuai; jika yang satu menghadap kamera, yang lain
menghadap ke suatu sisi. Jika Anda tidak menyadari seluruh
situasinya, Anda mungkin menyimpulkan bahwa kedua ikan itu saling
berkomunikasi secara seketika, tetapi jelas bukan demikian
halnya.

Menurut Bohm, inilah sesungguhnya yang terjadi di antara
partikel-partikel subatomik dalam eksperimen Aspect itu. Menurut
Bohm, hubungan yang tampaknya "lebih cepat dari cahaya" di antara
partikel-partikel subatomik sesungguhnya mengatakan kepada kita
bahwa ada suatu tingkat realitas yang lebih dalam, yang selama
ini tidak kita kenal, suatu dimensi yang lebih rumit di luar
dimensi kita, dimensi yang beranalogi dengan akuarium itu.
Tambahnya, kita memandang obyek-obyek seperti partikel-partikel
subatomik sebagai terpisah satu sama lain oleh karena kita hanya
memandang satu bagian dari realitas sesungguhnya
.

Partikel-partikel seperti itu bukanlah "bagian-bagian" yang
terpisah, melainkan faset-faset dari suatu kesatuan (keesaan)
yang lebih dalam dan lebih mendasar, yang pada akhirnya bersifat
holografik dan tak terbagi-bagi seperti gambar mawar di atas. Dan
oleh karena segala sesuatu dalam realitas fisikal terdiri dari
apa yang disebut "eidolon-eidolon" ini, maka alam semesta itu
sendiri adalah suatu proyeksi, suatu hologram. Di samping
hakekatnya yang seperti bayangan, alam semesta itu memiliki
sifat-sifat lain yang cukup mengejutkan. Jika keterpisahan yang
tampak di antara partikel-partikel subatomik itu ilusif, itu
berarti pada suatu tingkat realitas yang lebih dalam segala
sesuatu di alam semesta ini saling berhubungan secara tak
terbatas.

Elektron-elektron didalam atom karbon dalam otak manusia
berhubungan dengan partikel-partikel subatomik yang membentuk
setiap ikan salem yang berenang, setiap jantung yang berdenyut,
dan setiap bintang yang berkilauan di angkasa. Segala sesuatu
meresapi segala sesuatu; dan sekalipun sifat manusia selalu
mencoba memilah-milah, mengkotak-kotakkan dan membagi-bagi
berbagai fenomena di alam semesta, semua pengkotakan itu mau
tidak mau adalah artifisial, dan segenap alam semesta ini pada
akhirnya merupakan suatu jaringan tanpa jahitan.

Di dalam sebuah alam semesta yang holografik, bahkan waktu dan
ruang tidak dapat lagi dipandang sebagai sesuatu yang
fundamental. Oleh karena konsep-konsep seperti 'lokasi' runtuh di
dalam suatu alam semesta yang di situ tidak ada lagi sesuatu yang
terpisah dari yang lain, maka waktu dan ruang tiga dimensional
--seperti gambar-gambar ikan pada layar-layar TV di atas-- harus
dipandang sebagai proyeksi dari order yang lebih dalam lagi.

Pada tingkatan yang lebih dalam, realitas merupakan semacam
superhologram yang di situ masa lampau, masa kini, dan masa depan
semua ada (berlangsung) secara serentak. Ini mengisyaratkan bawah
dengan peralatan yang tepat mungkin di masa depan orang bisa
menjangkau ke tingkatan realitas superholografik itu dan
mengambil adegan-adegan dari masa lampau yang terlupakan.

Apakah ada lagi yang terkandung dalam superhologram itu merupakan
pertanyaan terbuka. Bila diterima --dalam diskusi ini-- bahwa
superhologram itu merupakan matriks yang melahirkan segala
sesuatu dalam alam semesta kita, setidak-tidaknya ia mengandung
setiap partikel subatomik yang pernah ada dan akan ada -- setiap
konfigurasi materi dan energi yang mungkin, dari butiran salju
sampai quasar, dari ikan paus biru sampai sinar gamma. Itu bisa
dilihat sebagai gudang kosmik dari "segala yang ada".

Sekalipun Bohm mengakui bahwa kita tidak mempunyai cara untuk
mengetahui apa lagi yang tersembunyi di dalam superhologram itu,
ia juga mengatakan bahwa kita tidak mempunyai alasan bahwa
superhologram itu tidak mengandung apa-apa lagi. Atau, seperti
dinyatakannya, mungkin tingkat realitas superholografik itu
"sekadar satu tingkatan", yang di luarnya terletak "perkembangan
lebih lanjut yang tak terbatas."

Bohm bukanlah satu-satunya peneliti yang menemukan bukti-bukti
bahwa alam semesta ini merupakan hologram. Dengan bekerja secara
independen di bidang penelitian otak, pakar neurofisiologi Karl
Pribram dari Universitas Stanford, juga menerima sifat holografik
dari realitas.

Pribram tertarik kepada model holografik oleh teka-teki bagaimana
dan di mana ingatan tersimpan di dalam otak. Selama puluhan tahun
berbagai penelitian menunjukkan bahwa alih-alih tersimpan dalam
suatu lokasi tertentu, ingatan tersebar di seluruh bagian otak.

Dalam serangkaian penelitian yang bersejarah pada tahun 1920-an,
ilmuwan otak Karl Lashley menemukan bahwa tidak peduli bagian
mana dari otak tikus yang diambilnya, ia tidak dapat
menghilangkan ingatan untuk melakukan tugas-tugas rumit yang
pernah dipelajari tikus itu sebelum dioperasi. Masalahnya ialah
tidak seorang pun dapat menjelaskan mekanisme ponyimpanan ingatan
yang bersifat "semua di dalam setiap bagian" yang aneh ini.

Lalu pada tahun 1960-an Pribram membaca konsep holografi dan
menyadari bahwa ia telah menemukan penjelasan yang telah lama
dicari-cari oleh para ilmuwan otak. Pribram yakin bahwa ingatan
terekam bukan di dalam neuron-neuron (sel-sel otak), melainkan di
dalam pola-pola impuls saraf yang merambah seluruh otak, seperti
pola-pola interferensi sinar laser yang merambah seluruh wilayah
pelat film yang mengandung suatu gambar holografik. Dengan kata
lain, Pribram yakin bahwa otak itu sendiri merupakan sebuah
hologram.

Teori Pribram juga menjelaskan bagaimana otak manusia dapat
menyimpan begitu banyak ingatan dalam ruang yang begitu kecil.
Pernah diperkirakan bahwa otak manusia mempunyai kapasitas
mengingat sekitar 10 milyar bit informasi selama masa hidup
manusia rata-rata (atau kira-kira sebanyak informasi yang
terkandung dalam lima set Encyclopaedia Britannica).

Demikian pula telah ditemukan bahwa di samping sifat-sifatnya
yang lain, hologram mempunyai kapasitas untuk menyimpan informasi
-- hanya dengan mengubah sudut kedua sinar laser itu jatuh pada
permukaan pelat film, dimungkinkan untuk merekam banyak gambar
berbeda pada permukaan yang sama. Telah dibuktikan bahwa satu
sentimeter kubik pelat film dapat menyimpan sebanyak 10 milyar
bit informasi.

Kemampuan mengagumkan dari manusia untuk mengambil informasi yang
diperlukan dari gudang ingatan yang amat besar itu dapat lebih
dipahami jika otak berfungsi menurut prinsip-prinsip holografik.
Jika seorang teman minta Anda mengatakan apa yang terlintas dalam
pikiran ketika ia menyebut "zebra", Anda tidak perlu tertatih-
tatih melakukan sorting dan mencari dalam suatu file alfabetis
raksasa dalam otak untuk sampai kepada suatu jawaban. Alih-alih,
berbagai asosiasi seperti "bergaris-garis", "macam kuda", dan
"binatang dari Afrika" semua muncul di kepala Anda dengan
seketika.

Sesungguhnya, salah satu hal paling mengherankan tentang proses
berpikir manusia adalah bahwa setiap butir informasi tampaknya
dengan seketika berkorelasi-silang dengan setiap butir informasi
lain-- ini merupakan sifat intrinsik dari hologram. Oleh karena
setiap bagian dari hologram saling berhubungan secara tak
terbatas satu sama lain, ini barangkali merupakan contoh terbaik
dari alam tentang suatu sistem yang saling berkorelasi.

Penyimpanan ingatan bukan satu-satunya teka-teki neurofisiologis
yang lebih dapat dijelaskan dengan model otak holografik Pribram.
Teka-teki lain adalah bagaimana otak mampu menerjemahkan serbuan
frekuensi-frekuensi yang diterimanya melalui pancaindra
(frekuensi cahaya, frekuensi suara, dan sebagainya) menjadi dunia
konkrit dari persepsi manusia. Merekam dan menguraikan kembali
frekuensi adalah sifat terunggul dari sebuah hologram. Seperti
hologram berfungsi sebagai semacam lensa, alat yang menerjemahkan
frekuensi-frekuensi kabur yang tak berarti menjadi suatu gambar
yang koheren, Pribram yakin bahwa otak juga merupakan sebuah
lensa yang menggunakan prinsip-prinsip holografik untuk secara
matematis mengubah frekuensi-frekuensi yang diterimanya melalui
pancaindra menjadi persepsi di dalam batin kita.

Sejumlah bukti yang mengesankan mengisyaratkan bahwa otak
menggunakan prinsip-prinsip holografik untuk menjalankan
fungsinya. Sesungguhnya, teori Pribram makin diterima di kalangan
pakar neurofisiologi. Peneliti Argentina-Italia, Hugo Zucarelli,
baru-baru ini memperluas model holografik ke dalam fenomena
akustik. Menghadapi teka-teki bahwa manusia dapat menetapkan
sumber suara tanpa menggerakkan kepalanya, bahkan jika mereka
hanya memiliki pendengaran pada satu telinga saja, Zucarelli
menemukan prinsip-prinsip holografik dapat menjelaskan kemampuan
ini.

Zucarelli juga mengembangkan teknologi suara holofonik, suatu
teknik perekaman yang mampu mereproduksi suasana akustik dengan
realisme yang mengagumkan.

Keyakinan Pribram bahwa otak kita secara matematis membangun
realitas "keras" dengan mengandalkan diri pada masukan dari suatu
domain frekuensi juga telah mendapat dikungan sejumlah
eksperimen.

Telah ditemukan bahwa masing-masing indra kita peka terhadap
suatu bentangan frekuensi yang jauh lebih lebar daripada yang
dianggap orang sebelum ini.

Misalnya, para peneliti telah menemukan bahwa sistem penglihatan
kita peka terhadap frekuensi suara, bahwa indra penciuman kita
sebagian bergantung pada apa yang sekarang dinamakan "frekuensi
osmik", dan bahkan sel-sel tubuh kita peka terhadap suatu
bentangan luas frekuensi. Temuan-temuan seperti itu menandakan
bahwa hanya di dalam domain kesadaran holografik saja frekuensi-
frekuensi seperti itu dipilah-pilah dan dibagi-bagi menjadi
persepsi konvensional.

Tetapi aspek yang paling membingungkan dari model otak holografik
Pribram adalah apa yang terjadi apabila model itu dipadukan
dengan teori Bohm. Oleh karena, bila kekonkritan alam semesta ini
hanyalah realitas sekunder dan bahwa apa yang ada "di luar sana"
sesungguhnya hanyalah kekaburan frekuensi holografik, dan jika
otak juga sebuah hologram dan hanya memilih beberapa saja dari
frekuensi-frekuensi yang kabur dan secara matematis mengubahnya
menjadi persepsi sensorik, apa jadinya dengan realitas yang
obyektif?

Secara sederhana, realias obyektif itu tidak ada lagi. Seperti
telah lama dinyatakan oleh agama-agama dari Timur, dunia materi
ini adalah Maya, suatu ilusi, dan sekalipun kita mungkin berpikir
bahwa kita ini makhluk fisikal yang bergerak di dalam dunia
fisikal, ini juga suatu ilusi.

Kita ini sebenarnya adalah "pesawat penerima" yang mengambang
melalui suatu lautan frekuensi kaleidoskopik, dan apa yang kita
ambil dari lautan ini dan terjemahkan menjadi realitas fisikal
hanyalah satu channel saja dari sekian banyak yang diambil dari
superhologram itu.

Gambaran realitas yang baru dan mengejutkan ini, yakni sintesis
antara pandangan Bohm dan Pribram, dinamakan paradigma
holografik, dan sekalipun banyak ilmuwan memandangnya secara
skeptik, paradigma itu menggairahkan sementara ilmuwan lain.
Suatu lingkungan kecil ilmuwan --yang jumlahnya makin bertambah--
percaya bahwa paradigma itu merupakan model realitas yang paling
akurat yang pernah dicapai sains. Lebih dari itu, sementara
kalangan percaya bahwa itu dapat memecahkan beberapa misteri yang
selama ini belum dapat dijelaskan oleh sains, dan bahkan dapat
menegakkan hal-hal paranormal sebagai bagian dari alam. Banyak
peneliti, termasuk Bohm dan Pribram, mencatat bahwa banyak
fenomena para-psikologis menjadi lebih dapat dipahami dalam
kerangka paradigma holografik.

Dalam suatu alam semesta yang di situ otak individu sesungguhnya
adalah bagian yang tak terbagi dari hologram yang lebih besar dan
segala sesuatu saling berhubungan secara tak terbatas, maka
telepati mungkin tidak lebih dari sekadar mengakses tingkat
holografik itu. Jelas itu jauh lebih mudah dapat memahami
bagaimana informasi dapat berpindah dari batin individu A kepada
batin individu B yang berjauhan, dan memahami sejumlah teka-teki
yang belum terpecahkan dalam psikologi. Khususnya, Grof merasa
bahwa paradigma holografik menawarkan model untuk memahami banyak
fenomena membingungkan yang dialami orang dalam keadaan
"kesadaran yang berubah" [altered states of consciousness].

Pada tahun 1950-an, ketika melakukan penelitian terhadap anggapan
bahwa LSD adalah alat penyembuhan psikoterapi, Grof mempunyai
seorang pasien wanita yang tiba-tiba merasa yakin bahwa dia
mempunyai identitas seekor reptil betina prasejarah. Selama
halusinasinya, dia tidak hanya menguraikan secara amat mendetail
tentang bagaimana rasanya terperangkap dalam wujud seperti itu,
melainkan juga mengatakan bahwa bagian anatomi binatang jantan
adalah sepetak sisik berwarna pada sisi kepalanya.

Yang mengejutkan Grof ialah bahwa, sekalipun wanita itu
sebelumnya tidak mempunyai pengetahuan tentan hal-hal itu, suatu
percakapan dengan seorang ahli zoologi belakangan menguatkan
bahwa pada beberapa spesies reptilia tertentu bagian-bagian
berwarna dari kepala memainkan peran penting untuk membangkitkan
birahi.

Pengalaman wanita itu bukan sesuatu yang unik. Selama
penelitiannya, Grof bertemu dengan pasien-pasien yang mengalami
regresi dan mengenali dirinya sebagai salah satu spesies dalam
deretan evolusi. Tambahan pula, ia mendapati bahwa pengalaman-
pengalaman seperti itu sering kali mengandung informasi zoologis
yang jarang diketahui yang belakangan ternyata akurat.

Regresi ke dalam dunia binatang bukanlah satu-satunya fenomena
psikologis yang menjadi teka-teki yang ditemukan Grof. Ia juga
mempunyai pasien-pasien yang tampak dapat memasuki alam bawah
sadar kolektif atau rasial. Orang-orang yang tidak terdidik
tiba-tiba memberikan gambaran yang terperinci tentang praktek
penguburan Zoroaster dan adegan-adegan dari mitologi Hindu. Jenis
pengalaman yang lain adalah orang-orang yang memberikan uraian
yang meyakinkan tentang perjalanan di luar tubuh, atau melihat
sekilas masa depan yang akan terjadi, atau regresi ke dalam
inkarnasi dalam salah satu kehidupan lampau.

Dalam riset-riset lebih lanjut, Grof menemukan bentangan fenomena
yang sama muncul dalam sesi-sesi terapi yang tidak menggunakan
obat-obatan [psikotropika]. Oleh karena unsur yang sama dalam
pengalaman-pengalaman seperti itu tampaknya adalah diatasinya
kesadaran individu yang biasanya dibatasi oleh ego dan/atau
dibatasi oleh ruang dan waktu, Grof menyebut fenomena itu sebagai
"pengalaman transpersonal", dan pada akhir tahun 1960-an ia
membantu mendirikan cabang psikologi yang disebut "psikologi
transpersonal" yang sepenuhnya mengkaji pengalaman-pengalaman
seperti itu.

Sekalipun perhimpunan yang didirikan oleh Grof, Perhimpunan
Psikologi Transpersonal [Association of Transpersonal
Psychology], menghimpun sekelompok profesional yang jumlahnya
semakin bertambah, dan telah menjadi cabang psikologi yang
terhormat [di kalangan sains], selama bertahun-tahun Grof maupun
rekan-rekannya tidak dapat memberikan suatu mekanisme yang dapat
menjelaskan berbagai fenomena psikologis aneh yang mereka
saksikan. Tetapi semua itu berubah dengan lahirnya paradigma
holografik.

Sebagaimana dicatat Grof baru-baru ini, jika batin memang bagian
dari suatu kontinuum, suatu labirin yang berhubungan bukan hanya
dengan setiap batin lain yang ada dan yang pernah ada, melainkan
berhubungan pula dengan setiap atom, organisme, dan wilayah di
dalam ruang dan waktu yang luas itu sendiri, maka fakta bahwa
batin kadang-kadang bisa menjelajah ke dalam labirin itu dan
mengalami hal-hal transpersonal tidak lagi tampak begitu aneh.

Paradigma holografik juga mempunyai implikasi bagi sains-sains
"keras" seperti biologi. Keith Floyd, seorang psikolog di
Virginia Intermont College, mengatakan bahwa jika realitas yang
konkrit tidak lebih dari sekadar ilusi holografik, maka tidak
benar lagi pernyataan yang mengklaim bahwa otak menghasilkan
kesadaran. Alih-alih, justru kesadaranlah yang menciptakan
perwujudan dari otak -- termasuk juga tubuh dan segala sesuatu di
sekitar kita yang kita tafsirkan sebagai fisikal.

Pembalikan cara melihat struktur-struktur biologis seperti itu
menyebabkan para peneliti mengatakan bahwa ilmu kedokteran dan
pemahaman kita mengenai proses penyembuhan juga dapat mengalami
transformasi berkat paradigma holografik ini. Jika struktur yang
tampaknya fisikal dari badan ini tidak lain daripada proyeksi
holografik dari kesadaran, maka jelas bahwa masing-masing dari
kita jauh lebih bertanggung-jawab bagi kesehatan diri kita
daripada yang dinyatakan oleh pengetahuan kedokteran masa kini.
Apa yang sekarang kita lihat sebagai penyembuhan penyakit yang
bersifat "mukjizat" mungkin sesungguhnya disebabkan oleh
perubahan-perubahan dalam kesadaran yang pada gilirannya
mempengaruhi perubahan-perubahan dalam hologram badan jasmani.

Demikian pula, teknik-teknik penyembuhan baru yang kontroversial,
seperti visualisasi, mungkin berhasil baik oleh karena dalam
domain pikiran yang holografik gambar-gambar pada akhirnya sama
nyatanya dengan "realitas".

Bahkan berbagai visiun dan pengalaman yang menyangkut realitas
yang "tidak biasa" dapat dijelaskan dengan paradigma holografik.
Dalam bukunya "Gifts of Unknown Things", pakar biologi Lyall
Watson menceritakan pertemuannya dengan seorang dukun perempuan
Indonesia yang, dengan melakuan semacam tarian ritual, mampu
melenyapkan sekumpulan pepohonan. Watson mengisahkan, sementara
ia dan seorang pengamat lain terus memandang perempuan itu dengan
takjub, ia membuat pepohonan itu muncul kembali, lalu
melenyapkannya dan memunculkannya lagi beberapa kali berturut-
turut.

Sekalipun pemahaman saintifik masa kini tidak mampu menjelaskan
peristiwa-peristiwa seperti itu, berbagai pengalaman seperti ini
menjadi lebih mungkin jika realitas "keras" tidak lebih dari
sekadar proyeksi holografik.

Mungkin kita sepakat tentang apa yang "ada" atau "tidak ada" oleh
karena apa yang disebut "realitas konsensus" itu dirumuskan dan
disahkan di tingkat bawah sadar manusia, yang di situ semua batin
saling berhubungan tanpa terbatas.

Jika ini benar, maka ini adalah implikasi paling dalam dari
paradigma holografik, oleh karena hal itu berarti bahwa
pengalaman-pengalaman sebagaimana dialami oleh Watson adalah
tidak lazim hanya oleh karena kita tidak memprogram batin kita
dengan kepercayaan-kepercayaan yang membuatnya lazim. Di dalam
alam semesta yang holografik, tidak ada batas bagaimana kita
dapat mengubah bahan-bahan realitas.

Yang kita lihat sebagai 'realitas' hanyalah sebuah kanvas yang
menunggu kita gambari dengan gambar apa pun yang kita inginkan.
Segala sesuatu adalah mungkin, mulai dari melengkungkan sendok
dengan kekuatan batin sampai peristiwa-peristiwa fantastik yang
dialami oleh Castaneda selama pertemuannya dengan dukun Indian
bangsa Yaqui, Don Juan, oleh karena sihir adalah hak asasi kita,
tidak lebih dan tidak kurang adikodratinya daripada kemampuan
kita menghasilkan realitas yang kita inginkan ketika kita
bermimpi.

Sesungguhnya, bahkan paham-paham kita yang paling mendasar
tentang realitas patut dipertanyakan, oleh karena di dalam alam
semesta holografik, sebagaimana ditunjukkan oleh Pribram, bahkan
perisitiwa yang terjadi secara acak [random] harus dilihat
sebagai berdasarkan prinsip holografik dan oleh karena itu
bersifat determined. 'Sinkronisitas' atau peristiwa-peristiwa
kebetulan yang bermanfaat, tiba-tiba masuk akal, dan segala
sesuatu dalam realitas harus dilihat sebagai metafora, oleh
karena bahkan peristiwa yang paling kacau mengungkapkan suatu
simetri tertentu yang mendasarinya.

Apakah paradigma holografik Bohm dan Pribram akan diterima oleh
sains atau tenggelam begitu saja masih akan kita lihat, tetapi
pada saat ini agaknya dapat dikatakan bahwa paradigma itu telah
berpengaruh terhadap pemikiran sejumlah ilmuwan. Dan bahkan jika
kelak terbukti bahwa model holografik tidak memberikan penjelasan
terbaik bagi komunikasi seketika yang tampaknya berlangsung
bolak-balik di antara partikel-partikel subatomik, setidak-
tidaknya, sebagaimana dinyatakan oleh Basil Hiley, seorang pakar
fisika di Birbeck College di London, temuan Aspect "menunjukkan
bahwa kita harus siap mempertimbangkan paham-paham baru yang
radikal mengenai realitas."

komentar bagi saudara/i yang menpertanyakan tenaga dalam?

Rasul tidak mengajarkan tenaga dalam, sebagaimana Rasul juga tidak mengajarkan pergi haji menggunakan pesawat, mengalengkan daging kurban menjadi kornet, memasak menggunakan gelombang mikro (microwave oven), merekayasa hujan dengan menebar garam kristal di udara, dll.

Seharusnya anda paham, bahwa dalam fiqih Islam, masalah dibagi 2.Masalah ritual, dan masalah muamalah.

Untuk masalah ritual, hukumnya jelas :

semuanya haram (bid'ah), kecuali ada tuntunan dari Allah & RasulNya


Untuk masalah muamalah, hukumnya juga jelas :

semuanya mubah, kecuali ada tuntunan (keterangan lain) dari Allah & RasulNya.


Masalah ritual hanya akan jatuh menjadi 3 kategori : wajib, sunnah, bid'ah.

Masalah muamalah hanya akan jatuh menjadi 6 kategori : wajib, sunnah, halal, mubah, makruh, haram.


Silat, beladiri, teknik tempur, senjata perang, tenaga dalam, tenaga metafisik, dll, semuanya bukanlah perkara ritual.Itu perkara muamalah.Jadi berdasar hukum fiqih, dasarnya mubah.Kecuali, ada keterangan lain.

Adakah keterangan lain?

Ada.Yaitu larangan menggunakan jin.Pelakunya disebut tukang sihir, dan digolongkan pelaku pelanggaran besar.

Di luar itu?

Tidak ada.



Jadi, sebetulnya itu (tenaga dalam & metafisik aura tubuh) digolongkan "mubah".

Bukan "halal", tapi "mubah" (halal = mubah + sertifikasi thayyib/dianggap membawa kebaikan dari Rasul).


Sama seperti komputer yg anda pakai.Itu tidak ada tuntunannya dari Rasul.Tapi itu muamalah.Jadi kategorinya "mubah".Tidak dilarang, tapi juga Rasul tidak pernah menyatakan alat ini baik.Oleh karena itu, bukan "halal", tapi "mubah".Demikian.


Coba pikirkan sendiri.Seandainya anda bisa saya bawa ke zaman beberapa ratus tahun yg lalu, dan anda saya bekali pemahaman, ditambah oven microwave untuk memasak, serta generator pembuat listrik.

Tantangannya untuk anda, saya minta anda untuk membuktikan, sekaligus meyakinkan masyarakat awam dan seluruh ulama di zaman itu, untuk yakin & percaya pada anda, bahwa memasak makanan tanpa api (secara ajaib) bukanlah sihir.Dan saya minta anda untuk membuat mereka terbiasa, dan menggunakan metode itu untuk memasak.


Kira-kira, mudahkah melakukan hal semacam itu?


Jujur saja, kalau anda saya kirim ke Inggris abad 18, saya hampir yakin bahwa anda akan dibakar hidup2 terlebih dahulu oleh inkuisisi (sama seperti nasib orang2 yg berani mengatakan bahwa bumi berbentuk bulat), sebelum saya jemput anda kembali ke zaman ini......hahaha..........



Intinya, belajarlah berpikiran terbuka, karena pemikiran & penafsiran terus & terus berkembang.Agama Allah sebetulnya sudah melingkupi semuanya, selama mindsetnya benar.


Tapi kalau tidak?

Yaah, tidak ingatkah anda, kita semua pernah mengalami masa di mana memakai jas,kemeja, & dasi disebut "haram", karena dikategorikan menyerupai orang kafir? (tidak usah marah bagi yg merasa dari NU......


Terus belajar & berpikir.Itu yg Allah inginkan dari kita.

"Iqra....."

"Afala tafakkaruun......."

Sabtu, Juli 11, 2009

PENGUMUMAN

assalamualaikum wr.wb.
kepada seluruh anggota hi (HIers) nanti pada tanggal 8 agustus 2009 akan diadakan Latgab di pangandaran seluruh indonesia atau tingkat nasional...
maka dari itu kami mengajak seluruh HIers untuk berpartisipasi dalam acara tersebut dengan biaya sebesar Rp.145.000 ..
karena di sana direncanakan akan menginap selama semalam...
dan bisa daftar ke teh Linda Karlina di SMAN 3 kuningan
kami sangat mengharapkan kehadiran akang teteh semua
kurangf lebihnya kami mohon maaf
wasssalamualaikum wr. wb.

sejarah lsbd hikmatul iman

Lembaga Seni Bela Diri Hikmatul Iman (LSBD HI) merupakan perguruan beladiri yang didirikan oleh Dicky Zaenal Arifin di Bandung pada tanggal 20 April 1989, ada 3 materi utama yang diajarkan yaitu tenaga dalam, tenaga metafisik, dan ilmu silat. LSBD HI merupakan perguruan dengan aliran beladiri tersendiri dan tidak berafiliasi dengan perguruan manapun.

Sejarah

Yayasan Hikmatul Iman adalah organisasi nirlaba yang didirikan pada tanggal 20 April 1989 di Bandung. Pada awal berdirinya yayasan ini berdomosili di Jl. Mohamad Toha no.113 Bandung hingga terakhir kali pada bulan September menetap di Jl. Rajamantri Kulon No.4 dan kemudian berpindah ke jl rajamantri satu no. 3 bandung 40264
Yayasan Hikmatul Iman Indonesia lahir melalui akta pendirian pada tanggal 20 April 1989 didirikan oleh Dicky Zainal Arifin yang sekaligus sebagai Guru Utama LSBD HI Indonesia. Pada awalnya lembaga ini bernama Al-Hikmatul Iman, namun dikarenakan menurut tata bahasa dinilai kurang tepat, nama tersebut diganti menjadi Hikmatul Iman. Yayasan Hikmatul Iman Indonesia mengemban misi untuk turut mengembangkan kehidupan pendidikan, sosial dan ekonomi, disamping itu pembinaan mental dan spiritual terhadap generasi muda dilakukan oleh yayasan ini sehingga akhlakul karimah dan ketaatan pribadi muslim tersentuh untuk menciptakan manusia yang cukup mampu ilmu dan amalnya guna pengembangan syi`ar Islam di zaman ini.
Ada 3 materi utama yang diajarkan yaitu tenaga dalam, tenaga metafisik, dan ilmu silat. LSBD HI merupakan perguruan dengan aliran beladiri tersendiri dan tidak berafiliasi dengan perguruan manapun.
Maksud dan tujuan pendirian yayasan Hikmatul Iman Indonesia adalah untuk:
Membina dan mengembangkan syiar Islam.
Membentuk pribadi yang berakhlakul karimah.
Menggalang pembinaan mental spiritual terhadap generasi muda guna membentuk manusia seutuhnya yang bertaqwa kepada Allah SWT.
Membantu pemerintah dalam pembangunan nasional, terutama di bidang pendidikan, sosial dan ekonomi.
Membantu program pemerintah dalam rangka meningkatkan kesehatan masyarakat.



Diperoleh dari "http://id.wikipedia.org/wiki/Hikmatul_Iman_Indonesia"