Halaman

Auror Indra Lesmana dan Anita Rachmawati Salawasna

Rabu, April 13, 2011

Ilmu Hitam dan Realitas Sosial (tanggapan)

Tanggapan Gayus Lumbun (Kompas, 10/11/2003) atas tulisan kami ("Ilmu Hitam dan Realitas Sosial", Kompas, 28/10/2003) kiranya perlu untuk diberikan tanggapan pula. Pertama, agar tidak terjadi salah paham atas artikel kami tersebut. Kedua, semoga penjelasan ini dapat menjadi sarana untuk memperdalam pengertian kita tentang beberapa persoalan yang hendak diatur dalam KUHP kita yang baru nanti, khususnya yang bertalian dengan fenomena santet.

PADA tulisan kami, sebagian dari apa yang menjadi keberatan Sdr Gayus sebenarnya sudah ditegaskan; pertama, bahwa santet sebagai praktik magis yang berkekuatan mendatangkan mudarat bagi kehidupan orang lain sulit dibuktikan secara empiris. Apabila terbukti secara empiris, maka pengertian magic dalam perbuatan tersebut lenyap, ia menjadi perbuatan biasa yang terikat dengan hukum-hukum fisika. Karakter magis ini memang paradoks bilamana diperhadapkan dengan sistem hukum modern yang serba rasional. Karena alasan inilah, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) sulit menampung semua hal yang bersifat non-kausatif. Kenyataan ini sepenuhnya kami sadari. Karena itu, yang kami sampaikan pada tulisan tersebut adalah hal-hal yang secara empiris dapat dijangkau.

Kendatipun demikian, kita tidak bisa menutup mata terhadap fakta bahwa ada peristiwa-peristiwa yang sulit dinalar tetapi terjadi. Bahkan, di tengah-tengah suatu diskusi mengenai santet dalam KUHP, realitas itu mengemuka secara demonstratif. Salah seorang peserta diskusi yang menamakan diri pakar paranormal, unjuk kebolehan merealisasikan kekuatan supranatural. Atraksi yang disiarkan langsung secara nasional oleh salah satu stasiun televisi swasta ini bermula dari sanggahan pemirsa yang menolak realitas kekuatan gaib mampu dihadirkan oleh seseorang. Guna membuktikan ketidakbenaran sanggahan itu, pakar paranormal tersebut meminta salah seorang hadirin yang kebetulan ada di studio untuk menjadi relawan. Lantas ia membaca doa, kemudian dari tempatnya duduk, tanpa menyentuh apa pun, tangannya diayunkan ke arah tubuh relawan tersebut. Akibatnya, sungguh dahsyat. Tubuh lelaki tinggi besar itu rebah seketika dalam keadaan kaku.

Kekuatan gaib yang dipertontonkan itu diakui sebagai bagian dari "ilmu putih" (white magic). Namun secara logis, dampak serupa itu tentunya dapat pula ditimbulkan oleh perbuatan yang bisa dikategorikan sebagai santet (black magic), manakala perbuatan tersebut disengaja oleh pelakunya untuk menimbulkan celaka bagi orang
lain. Di sini yang dilihat orang adalah dampaknya, yaitu suatu kenyataan bahwa ada orang menderita karena sebab-sebab yang tidak dapat dianalisis oleh nalar.

Fenomena semacam ini masih diakui eksistensinya oleh sebagian besar masyarakat kita. Tegasnya, bagi kalangan yang meyakini tersebut, santet itu adalah ada dan dipandang mempunyai pengaruh jahat. Penelitian kami menunjukkan dengan jelas realitas ini. Jadi, usulan kriminalisasi mengenai santet bukan datang dengan tiba-tiba, ia lahir dari penggalian panjang atas realitas masyarakat kita sendiri melalui berbagai pendekatan, khususnya antropologi hukum dan sosiologi hukum. Kedua, kepercayaan masyarakat terhadap santet itu yang sering kali diwujudkan dalam berbagai reaksi sosial yang membuahkan tindakan kejahatan (crime). Tindakan itu seperti pengeroyokan, penganiayaan berat, pembunuhan berencana sampai dengan mutilasi jelas menjadi perhatian kami sebagai kriminolog. Jadi, bukan pada mekanisme santetnya itu sendiri yang hendak diteropong secara empiris walaupun
di sana-sini jejak-jejak santet itu secara zhahir (lahiriah) mungkin dapat dilacak melalui korban. Keterangan ini mengandung dua sayap, pertama, reaksi sosial atas isu santet yang membuahkan kejahatan dan kedua, korban tindak pidana santet.

DITINJAU secara viktimologis, masyarakat yang merasa dirinya menjadi korban santet umumnya menganggap hukum tidak mampu memberikan perlindungan. Oleh karena itu, mereka mengambil jalan keadilannya sendiri. Tetapi di sinilah dilemanya, mereka yang telah menjadi korban, baik yang terkena langsung maupun yang hanya merasa di bawah ancaman santet, harus menerima akibat hukum dari reaksi pembelaan yang dilakukannya, justru ketika hukum tidak memberikan sarana untuk
itu. Dalam keadaan seperti ini, apakah Pasal 170 KUHP tepat diterapkan?

Realitas yang melahirkan berbagai kejahatan berat (heavy crime) semacam ini alangkah janggalnya apabila tidak tersentuh oleh ketentuan hukum positif. Dalam hal ini saya menilai bahwa sejak dahulu terjadi kevakuman hukum (recht vacuum) mengenai praktik ilmu hitam ini. Karena itu, perlu ada kriminalisasi tentang santet agar peristiwa-persitiwa tragis, seperti pembunuhan massal di Banyuwangi pada tahun 1998, dapat dicegah dan diurus oleh hukum secara lebih adil dan benar.

Ditinjau dari segi kepercayaan agama, khususnya Islam, santet atau sihir bukanlah sesuatu yang aneh. Ditegaskan dalam Al Quran ada sejenis sihir yang dapat memisahkan antara suami dan istri. Karena praktik ini merupakan tindakan tercela, Islam melarang semua jenis sihir, santet atau teluh serta sejenisnya. Kalau kita kembali pada larangan agama ini, maka kriminalisasi mengenai santet bisa juga dilihat sebagai positivisasi hukum agama yang dianut oleh mayoritas rakyat Indonesia.

Ketiga, dalam tulisan kami tersebut sebelumnya juga telah melalui kajian hukum normatif. Karena itu, kami bisa menilai bahwa komparasi antara Pasal 545-547 KUHP dan Pasal 255 Ayat (1) Rancangan Undang-Undang (RUU) KUHP yang dilakukan Sdr Gayus kurang cermat. Mungkin saja dalam hal ini ada kesamaan politik hukum. Tetapi, kesamaan ini tidak serta-merta bahwa materi pengaturannya sama, meskipun 'mungkin' yang diatur mengenai kelompok besar yang sama, yakni perihal gaib. Pasal 545 KUHP mengenai tukang ramal. Pasal 546 KUHP tentang
penjualan jimat-jimat. Pasal 547 mengenai larangan saksi di bawah sumpah memakai jimat atau benda sakti di dalam sidang pengadilan. Sekarang bandingkan dengan Pasal 255 Ayat (1) RUU KUHP yang berbunyi: "Setiap orang yang menyatakan dirinya mempunyai kekuatan magis, memberitahukan, menimbulkan harapan, menawarkan atau memberikan bantuan jasa kepada orang lain bahwa karena perbuatannya dapat menimbulkan kematian, penderitaan mental atau fisik seseorang…." Ketentuan ini dengan mudah dapat dimengerti bahwa secara substansial sama sekali berbeda dengan ketiga pasal dalam KUHP tersebut.

Pasal 545-547 KUHP tersebut menjadi "macan ompong" terhadap perbuatan santet karena ketentuan-ketentuan itu memang tidak mengatur tentang santet. Jadi, bukan pada masalah penegakan hukumnya sebagaimana yang diduga Sdr Gayus ketentuan-ketentuan itu menjadi layu. Saran dekriminalisasi ketiga pasal tersebut adalah menyangkut materi yang diaturnya, bukan berkenaan dengan santet.

Keempat, kami tidak membahas tentang penipuan (Pasal 378 KUHP) karena hal itu kami pandang berada di luar konteks. Tindak pidana penipuan dapat dilakukan dengan kausa apa saja, tidak harus dalam lingkup apa yang diatur dalam Pasal 255 (1) RUU KUHP. Adapun mengenai teknik pembuktian tidaklah begitu sulit sepanjang seluruh unsur yang diatur dalam ketentuan ini dijadikan pedoman. Sayang, orang kemudian suka meloncat pada premis-premis yang justru dihindari oleh aturan pidana ini, seperti masuk pada masalah-masalah yang diatur dalam perumusan delik materiil, misalnya hendak membuktikan bahwa matinya seseorang karena benda-benda gaib yang ditembakkan oleh pelaku santet.

MENGANGKAT bukti-bukti ke permukaan, seperti dalam pemeriksaan forensik pada tindak pidana santet, jelas tidak mungkin karena santet berada dalam entitas alam yang lain, sedangkan apa yang dapat kita raba dan lihat adalah pada alam lain yang bersifat sebaliknya. Karena hal ini sulit dibuktikan, maka orang lantas mudah lari pada dugaan penipuan. Padahal, apa yang tidak kita lihat, bukannya berarti tidak
ada.

Tegasnya, dalam tulisan kami tersebut yang hendak digarisbawahi dua hal; menangkal orang bermain-main dengan santet dan mencegah orang menjadikan isu mengenai santet sebagai instrumen untuk melakukan tindak kejahatan. Dengan adanya ketentuan mengenai santet, diharapkan orang justru senantiasa berpikir rasional, tidak mudah jatuh kepada klenik, dan yang terpenting adalah mendorong orang untuk selalu bersandar kepada Tuhan sehingga dapat dicapai kemaslahatan umum, yakni tertib sosial. Jadi jelaslah, bahwa kriminalisasi tindak pidana santet bukan untuk melembagakan santet. Tetapi, justru untuk mengikisnya. Semoga pesan yang kembali dipertegas ini tidak lagi keliru dibaca.

Tb Ronny Rahman Nitibaskara Guru Besar Kriminologi UI
sumber :http://hiuk.multiply.com/notes

1 komentar: